TARSIUS terdengar masih asing di telinga. Mungkin hanya sebagian orang yang pernah menyaksikan hewan bertubuh kecil itu.
Masyarakat Belitung biasa menyebutnya pelile’an. Kini, tarsius terbilang langka. Pembabatan hutan karena ilegal logging, penambangan maupun pembukaan lahan perkebunan sawit, ditengarai menyebabkan habitat tarsius Belitung semakin berkurang bahkan bisa terancam punah.
Kelompok Peduli Lingkungan Belitung (KPLB) saat ini sedang menjalankan program konservasi tarsius di kawasan Batu Mentas Kecamatan Badau. Yang dilakukan adalah mendata beberapa spot areal jelajah tarsius yang ada di sekitar Batu Mentas.
Hal ini untuk mengetahui sejauh mana keberadaan hewan tersebut. Hal yang paling penting adalah untuk membuktikan tarsius bisa dilihat langsung oleh masyarakat maupun wisatawan.
Ketua KPLB Budi Setiawan, mengatakan banyak wisatawan yang menanyakan apakah betul Belitung memiliki tarsius.
Pertanyaan ini pun sempat diutarakan Dirjen Pengembangan Destinasi Pariwisata Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI Firmansyah saat berkunjung ke Belitung beberapa waktu lalu. Ketika itu, ia melihat brosur wisata yang memuat foto tarsius.
Firmansyah ingin melihat langsung dan membuktikan bahwa tarsius yang dimuat di brosur tersebut bukan diambil dari internet.
“Persoalannya adalah tarsius itu binatang nocturnal, yang hadir pada malam hari. Nah, bagaimana sekarang kita membuat ini supaya orang bisa melihat pada siang hari atau pada malam hari dan pasti ketemu.
Ini kaitannya dengan eco tourism,” kata Budi ditemui Grup Bangka Pos di kediamannya, Kamis (15/4).
Ada dua konsep konservasi yang dikembangkan, yaitu sanctuary terbuka dan sanctuary tertutup. Sanctuary terbuka adalah suatu areal hutan luas yang diproteksi untuk menjadi tempat hidup areal jelajah dari tarsius yang dijaga. Sedangkan sanctuary tertutup merupakan sebuah kandang besar yang dibuat sealami mungkin. Tarsius yang ditempatkan dalam sanctuary itu akan diteliti, mulai dari cara makan sampai tidur.
Menurut Budi, data ataupun literatur tentang tarsius sangat sedikit sekali. Apalagi tarsius Belitung memiliki kekhasan tersendiri yang berbeda dengan tarsius yang ada di Sulawesi.
Tarsius Belitung tidak hidup berkelompok, lebih pemalu. Tarsius di Sulawesi dan Filipina disebut-sebut sering berteriak. Ukuran tarsius Belitung pun diyakini lebih besar dibanding tarsius daerah lain
.
Tentang populasi tarsius, Budi mengatakan, pihaknya belum memiliki data pasti. Lingkup penelitian pun baru dilakukan di daerah Batu Mentas.
Tetapi jika dilihat dari metode kesamaan vegetasi, maka kemungkinan tarsius Belitung masih ada sekitar 2.000-3.000 ekor yang tersebar di seluruh Belitung.
Budi mengatakan, dipilihnya spot Batu Mentas karena menyangkut strategi. Satu sisi KPLB menyelamatkan tarsius dengan melakukan konservasi, di sisi lain juga akan memberikan penambahan pendapatan bagi masyarakat, stimulan bagi masyarakat untuk menjaga tarsius.
Ini berarti sudah berbicara tourism. “Kalau kita tidak lakukan itu dan kita fokus hanya menyelamatkan tarsius, maka cost penyelamatan itu akan menjadi tinggi. Karena harus menjaga orang, harus segala macam lah,” kata Budi.
Namun jika dengan eco tourism maka masyarakat bisa merasakan manfaatnya. Seperti sekarang ini, di Batu Mentas nanti akan ada jalan untuk menuju lokasi.
Pada kiri kanannya ada kebun lada warga, kebun nanas, dan masyarakat mulai berpikir bagaimana kalau membuat semacam toko oleh-oleh.
Konservasi yang diprogramkan KPLB saat ini baru dalam tahap membuat fasilitas penelitian, serta beberapa fasilitas untuk mendukung eco tourism. KPLB juga menata sungai, menata fasilitas outbond dan jungle tracking.
Selain itu KPLB juga melakukan pendekatan kepada masyarakat, karena penelitiannya dilakukan KPLB dengan masyarakat. Mengingat masyarakat tahu titik-titik tarsius.
Program konservasi ini diharapkan bisa selesai dalam waktu satu tahun. Program ini merupakan kerjasama KPLB dengan UNEP (United Nations Environment programme) dan GEF (Global Environment Facility).
Tusena dan Pelanduk
Fauna unik Belitung sebenarnya tidak hanya tarsius saja. Masih ada hewan lain yang juga harus dilindungi seperti tupai Selat Nasik yang memiliki kekhasan bulu dada berwarna merah, pelanduk dan penyu sisik.
Hewan ini memiliki nilai konservasi yang baik, juga memiliki nilai untuk eco tourism.
Upaya untuk melindungi hewan-hewan tersebut sudah mulai ada, seperti penyu sisik yang akan dikembangbiakkan di Pulau Babi.
Namun untuk pelanduk sampai saat ini belum ada, artinya belum diupayakan secara baik. Begitu juga untuk tupai Selat Nasik yang belum ada upaya pelestarian sama sekali.
Budi mengatakan, hewan-hewan yang sudah bisa dikatakan hilang di Belitung adalah rusa dan kijang.
Konon kabar terakhir menyebutkan rusa masih ada di wilayah Gunung Tajam, tapi sekarang rusa tersebut disinyalir sudah tidak ada lagi.
“Dulu hewan-hewan tersebut banyak, mudah ditemui dan selalu ada acara ‘berasuk’. Sebenarnya itu adalah bagian dari kearifan lokal,” kata Budi.
Hewan-hewan tersebut sebenarnya harus dilindungi, dan masyarakat tidak boleh melupakannya. Selama ini, kata Budi, kita sering berpikir lingkungan itu dari satu aspek, yaitu menghabiskan dana.
Sementara sebenarnya itu sebuah investasi besar kalau dilakukan dan ke depannya akan sangat baik untuk eco tourism.
Selain konservasi tarsius, KPLB juga berencana untuk melakukan konservasi pelanduk. KPLB akan bergerak seiring dengan konservasi tarsius. Sebab dalam satu kandang diharapkan bagian dasar hutan itu ada konsservasi buat pelanduk, diatasnya untuk tarsius.
“Kemudian nanti juga untuk pengembangan wisata di Selat Nasik, kita berencana bagaimana untuk melakukan konservasi terhadap tupai Selat Nasik,” kata Budi. (vid/h4)
artikel taken from http://cetak.bangkapos.com
LET'S WATCHING TARSIUS WITH BELITUNG ADVENTURE
0 comments:
:k1 :k2 :k3 :k4 :k5 :k6 :k7 :k8 :k9 :a1 :a2 :a3 :a4 :a5 :a6 :a7 :a8 :a9
Post a Comment